Saturday, August 28, 2010

Pers Era Reformasi


August 24, 2010

Lecture: A. Junaidi - The Jakarta Post, Senior Redactor


Pers Orde Baru

Pers pada saat Orde Baru terlihat tidak memiliki suara sama sekali, dikarenakan pada saat orde baru merupakan masa yang otoriter, dimana pada masa ini, kebebasan pers dikekang atas nama kepentingan pemerintah dan ketertiban masyarakat.

Pada masa Orde Baru inilah banyaknya terjadi pembredelan terhadap beberapa media masa nasional. Tepatnya pada 1994, ada 3 media massa yang dibredel atau dicabut surat izin penerbitannya, yaitu Tempo, Editor, dan Detik. Pembredelan ini terjadi karena media massa yang dibredel memberitakan suatu peristiwa atau isu yang sedikit banyak membicarakan kinerja pemerintahan pada saat itu.

Selain terjadinya pembredelan, dikeluarkannya SIUPP (Surat Ijin Untuk Penerbitan Pers), dengan dikeluarkannya SIUPP tersebut, maka semakin diperketatnya pers dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat luas.

Jadi, setiap ada berita tentang Soeharto yang jelek, maka bagian pemerintah akan langsung menelepon ke pers untuk tidak diberitakan.

Hal-hal pengekangan terhadap pers yang terjadi pada masa Soeharto itu, membuat para wartawan melakukan demo, dengan dibentuknya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) tahun 1995.

Tanggal 12 Mei 1998, terjadilah tragedi Trisakti, dimana terjadinya peristiwa penembakan terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Pada tragedi ini, terdapat empat (4) orang mahasiswa yang tewas tertembak di dalam kampus, dan yang terluka berat dilarikan ke RS Sumber Waras.

Tanggal 13 - 15 Mei 1998, terjadilah kerusuhan Mei 1998 yang diawali oleh krisis finansial Asia, serta dipicu oleh Tragedi Trisakti.

Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah kejadian kerusuhan Mei 1998 (13-15 Mei 1998) dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Pada saat itulah, masa orde baru berakhir dari pemerintahan yang otoriter.


Pers Pasca Orde Baru

Pasca Orde Baru ini merupakan masa setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Pasca Orde Baru ini disebut juga "Era Reformasi atau Orde Reformasi". Dikarenakan, pada masa ini masih ada tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintah pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir [1].

Setelah presiden Soeharto mengundurkan diri, BJ Habibie (wakil presiden) menggantikan Soeharto dan menjadi presiden Indonesia yang baru.

Pada Pasca Orde Baru, pers tidak lagi dikekang oleh pemerintah, melainkan sudah memiliki kebebasannya untuk menyuarakan suara masyarakat, karena sifat pers itu sebagai penghubung antar masyarakat. Kebebasan pers ini terbukti dengan dicabutnya SIUPP (Surat Ijin Untuk Penerbitan Pers) tahun 1998.

Pers pun bebas memberitakan segala berita yang berkaitan dengan kepemerintahan Indonesia, kritik-kritik sepedas apapun oleh pers, pemerintah tidak akan menutup pers, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini ditandai dengan munculnya media cetak dan media elektronik baru dengan berbagai kemasan dan segmen.

Akan tetapi, pada Pasca Orde Baru, kelompok masyarakat lah yang menjadi musuh pers. Berbeda dengan pada saat Orde Baru, dimana negara lah yang menjadi musuh pers. Hal ini dikarenakan, pers cenderung memperlihatkan perfoma dan sikap yang dilematis. Kebebasan tersebut akhirnya tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat.

Akhirnya, kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu terbukti dengan adanya media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan [2].

Kekerasan/teror pun terjadi terhadap para jurnalis/media. Beberapa kekerasan/teror yang terjadi pada Pasca Orde Baru/Era Reformasi ini, yaitu:
- Kekerasan terhadap jurnalis, yang terjadi pada:
- tahun 2004 : 2 kasus
- tahun 2005 : 43 kasus
- tahun 2006 : 53 kasus
- tahun 2007 : 75 kasus
- tahun 2008 : 59 kasus - dimana, 24 kasus merupakan bentuk kekerasan fisik [3].
- Pembunuhan wartawan Radar Bali, pada tanggal 16 Februari 2009.
- Bom molotov dilempar oleh orang tak dikenal pada Juli 2010.
- Wartawan SUN TV (RCTI Group), tewas dikeroyok massa, pada tanggal 21 Agustus 2010 [4].
- dan lain-lain.

Akan tetapi, selama masa Pasca Orde Baru ini, pers juga menghadapi berbagai kendala, yaitu:
- Kelompok masyarakat Vs. Pers.
- Pemilik media Vs. Jurnalis / Freedom of Press.
- Pemodal.
- Pemasang iklan.


Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.

Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme [5].

Akan tetapi, pada kenyataannya, masih ada pers yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, sehingga merugikan subjek berita. Sebagai contoh, salah satunya adalah infotainment.

Pada pemberitaan infotainment, pers masih melanggar Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan, dengan adanya pencampuran antara fakta dengan opini dari wartawan itu sendiri. Padahal seharusnya, pers dalam memberitakan sebuah infotainment ataupun berita haruslah memperhatikan asas cover both side dan asas cek and ricek, maksudnya adalah menyajikan berita secara berimbang dan adil, artinya apabila berita tersebut menyangkut banyak pihak, maka semua pihak yang terlibat dalam berita tersebut harus di konfirmasi sebelum berita tersebut dimuat, dan semua pihak harus mendapat porsi tayang untuk beritakan secara berimbang.


Catatan Penulis

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat perbedaan pers pada masa Orde Baru dengan pada masa Pasca Orde Baru, dimana:

Orde Baru:
- Pers tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam memberitakan sebuah berita.
- Kebebasan pers sangatlah dikekang oleh negara, apabila terdapat pelanggaran maka akan langsung dibredel.
- Pers tidak bisa menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, sebagaimana seharusnya sifat pers itu menjadi penghubung antar masyarakat.

Pasca Orde Baru:
- Pers memiliki kebebasan dalam memberitakan sebuah berita.
- Munculnya banyak media yang berbeda-beda dalam segmen dan kemasannya.
- Terjadinya perselisihan antara kumpulan masyarakat dengan pers.
- Terjadinya kekerasan terhadap pers.
- Pers menjadi semakin banyak dan beberapa pers tidak mematuhi Kode Etik Jurnalistik.
- Munculnya banyak berita yang dapat merusak moral dan pengetahuan masyarakat Indonesia.

Kekerasan-kekerasan terhadap pers ini haruslah ditindaklanjuti oleh pemerintah, dimana pers harus diingatkan akan Kode Etik Jurnalistik dalam melakukan pemberitaan, sehingga tidak meresahkan masyarakat luas. Selain itu, para masyarakat haruslah diberi himbauan apa sebenarnya yang pers lakukan, pers hanyalah memberitakan sebuah fakta dan itu adalah peran dari pers, oleh karena itu kekerasan terhadap pers tidak boleh dilakukan.

Pemberitaan infotainment yang dilakukan pers, dimana melanggar Kode Etik Jurnalistik, haruslah dicegah. Kenapa? Karena, apabila pers memberitakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, melainkan menambahkan opini yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman pemberitaan. Maka, secara tidak langsung, pers akan dianggap mencemarkan nama baik seseorang.

Menurut saya, pers bolehlah bebas dalam melakukan pemberitaan, tetapi pers haruslah tetap berpegangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang ada, sehingga tidak adanya pihak yang akan dirugikan oleh berita, baik pihak nara sumber, ataupun pihak pers yang memberitakannya.



Author : Angeline



Sumber:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_Reformasi
[2] http://ivantoebi.wordpress.com/2008/12/19/pers-era-reformasi/
[3] http://jannahf.blogspot.com/2009/01/220-kasus-kekerasan-pers-selama-era.html
[4] http://news.okezone.com/read/2010/08/22/340/365302/kronologis-tewasnya-wartawan-sun-tv
[5] http://id.wikisource.org/wiki/Kode_Etik_Jurnalistik

0 comments:

Post a Comment

Select by Month

Followers

 

Kapita Selekta. Mata Kuliah Kapita Selekta. Banyak Topik Pada Mata Kuliah Ini. Enjoy It !